Peluang Terbuka Bagi Siapapun - Cara Mudah Mendapatkan Uang dari Youtube

Indonesia Kaboten Jeneng

Merdeka.com - Apalah arti sebuah nama, ungkapan di atas sepertinya tidak berlaku bagi Arkand Bodhana Zeshaprajna. Bagi pria yang telah menggeluti dunia metafisika ini, nama mengandung ideasi dan energi bukan sembarang sebutan.

"Nama dibutuhkan untuk memanggil seseorang atau objek. Nama bukanlah sekadar kata atau kumpulan kata, melainkan mengandung ideasi dan energi. Ilmu fisika menyebut energi bersifat kekal, tidak bisa diciptakan dan tidak bisa dimusnahkan. Segala sesuatu di alam semesta ini memiliki energi, termasuk nama," ujar Arkand Bodhana Zeshaprajna dalam situsnya http://arkand.com/ yang dikutip merdeka.com, Rabu (26/2).

Dalam pandangan metafisika Arkand, nama Indonesia untuk penyebutan republik ini dinilai tidak tepat. Dia pun mengusulkan agar nama Republik Indonesia diganti dengan Nusantara, penyebutan yang sudah sering digunakan di zaman Majapahit.

Usulan ini tentu membuat pro dan kontra, dalam hal ini mungkin yang kontra akan lebih banyak. Namun benarkah nama mengandung kekuatan atau energi dalam ilmu metafisika?

Pernyataan Arkand di atas mungkin segaris dengan apa yang diyakini oleh orang Jawa di masa lalu (bahkan sebagian di antaranya masih meyakini hingga kini). Nama bukan hanya sebutan, melainkan doa, pengingat peristiwa dan lain sebagainya.

Pemberian nama terhadap anak yang baru lahir misalnya, orang Jawa biasanya sangat berhati-hati. Peristiwa saat kelahiran dan pasaran hari lahir biasanya digunakan untuk memberi nama. Sebut saja Sukino Bandang, nama itu diberikan orang tuanya karena saat Sukino lahir daerahnya sedang dilanda banjir bandang.

Nama yang tidak cocok biasanya dikenal dengan istilah 'kabotan jeneng' atau keberatan nama. Hal ini biasanya terjadi pada bayi yang sudah diberi nama namun sering sakit-sakitan. Bayi itu lalu diganti nama karena nama awal yang diberikan tidak cocok dengan kondisi fisik si bayi atau anak.

Begitu mungkin yang dilihat Arkand dalam nama Indonesia. Bangsa ini kerap 'sakit-sakitan' sehingga salah satu cara untuk mengubah hal itu adalah dengan mengubah nama Indonesia diganti dengan Nusantara agar tidak sakit-sakitan.

Sejarah kata Indonesia sendiri hingga kini masih belum jelas. Namun salah satu sumber menyebut bahwa Indonesia berasal dari kata Indunesia. Nama itu berasal dari penyebutan George Samuel Windsor Earl, seorang ahli etnologi bangsa Inggris.

Dalam artikel di majalah 'of the Indian Archipelago and Eastern Asia' ( Tahun 1847)Earl menulis soal 'Karakteristik Terkemuka dari Bangsa-bangsa Papua, Australia dan Melayu-Polinesia'. Dalam artikelnya itu Earl menegaskan bahwa sudah tiba saatnya bagi penduduk Kepulauan Hindia atau Kepulauan Melayu untuk memiliki nama khas (a distinctive name), sebab nama Hindia tidaklah tepat dan sering rancu dengan penyebutan India yang lain. Earl mengajukan dua pilihan nama: Indunesia atau Malayunesia.

Namun penyebutan Indunesia itu lalu dikritik oleh James Richardson Logan. Logan menulis artikel The Ethnology of the Indian Archipelago (Etnologi dari Kepulauan Hindia) pada tahun 1850. Pada awal tulisannya, Logan pun menyatakan kesetujuannya tentang perlunya nama khas bagi kepulauan tanah air kita, sebab istilah Indian Archipelago (Kepulauan Hindia) terlalu panjang dan membingungkan.

Logan kemudian memungut nama Indunesia yang dibuang Earl, dan huruf u digantinya dengan huruf o agar ucapannya lebih baik. Maka lahirlah istilah Indonesia. Dan itu membuktikan bahwa sebagian kalangan Eropa tetap meyakini bahwa penduduk di kepulauan ini adalah Indian, sebuah julukan yang dipertahankan karena sudah terlanjur akrab di Eropa.

Untuk pertama kalinya kata Indonesia muncul di dunia dengan tercetak pada halaman 254 dalam tulisan Logan (diterjemahkan ke Bahasa Indonesia):

"Mr Earl menyarankan istilah etnografi 'Indunesian', tetapi menolaknya dan mendukung 'Malayunesian'. Saya lebih suka istilah geografis murni 'Indonesia', yang hanya sinonim yang lebih pendek untuk Pulau-pulau Hindia atau Kepulauan Hindia," tulis Logan dalam JIAEA Volume IV itu juga, halaman 252-347, tahun 1850.

Sejak saat itu Indonesia mulai sering disebut. Bahkan dalam beberapa artikel ilmiah, banyak pengarang yang sudah mulai menggunakan nama Indonesia untuk menyebut daerah yang saat itu masih dikuasai Belanda atau Hindia Belanda.

Sedangkan Nusantara dikenal sejak zaman Kerajaan Majapahit. Dalam konsep kenegaraan di Jawa pada abad ke-13 hingga ke-15, seorang raja yang memerintah dianggap sebagai penjelmaan dewa. Karena itu, daerah kekuasaannya memancarkan konsep kekuasaan seorang dewa.

Di zaman kerajaan Majapahit, wilayah kekuasaannya dibagi menjadi tiga lapisan. Tingkat pertama disebut Negara Agung, yang merupakan daerah sekeliling ibu kota kerajaan tempat raja memerintah.

Kedua adalah Mancanegara, atau daerah-daerah di Pulau Jawa dan sekitar yang budayanya masih mirip dengan Negara Agung, tetapi sudah berada di daerah perbatasan. Dilihat dari sudut pandang ini, Madura dan Bali adalah daerah mancanegara. Lampung dan juga Palembang juga dianggap daerah mancanegara.

Lapis ketiga adalah Nusantara, yang berarti pulau lain (di luar Jawa) adalah daerah di luar pengaruh budaya Jawa tetapi masih diklaim sebagai daerah taklukan atau jajahan Majapahit. Para pemimpin di negara yang termasuk wilayah Nusantara ini para penguasanya harus membayar upeti kepada Raja Majapahit.

Merujuk dua artikel di atas, dengan usulan mengubah Indonesia dengan Nusantara, Arkand seolah ingin beromantisme (mengenang kejayaan masa lalu). Di zaman Nusantara, negeri ini berjaya dan makmur, sedangkan Indonesia mungkin dianggap peninggalan feodal, sehingga budaya negeri terjajah seolah masih terbawa hingga kini.

Lalu benarkah nama republik ini akan diubah karena dinilai tidak cocok atau kabotan jeneng?
[hhw]

Tukang Tidur Main Youtube 728x90

Infopreneur Sukses 468x60

0 komentar:

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Buy Printable Coupons